Gue baru aja berdiskusi dengan salah satu orang baik yang gue kenal melalui pesan whatsapp, dia adalah mentor sekaligus penyemangat gue untuk terus hidup dan tersenyum walaupun usianya jauh lebih muda dari gue beberapa tahun aja. Terimakasih
Darinya gue mendapat beberapa masukan yang sangat berharga sekali untuk kehidupan jauh didepan nanti, ini tentang berbuat baik kepada siapa aja dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya jika mereka yang kita tolong dengan tulus dan ikhlas, malah mengganggap kita enggak tulus dan malah menganggap ada maksud tertentu.
**
Kata beliau, (Menjadi orang baik emang sih enggak ada salahnya. Bahkan kamu memang harus berbuat baik kepada orang lain. Tapi ada kalanya kamu terlalu baik kepada orang lain, sampai bahkan kamu sendiri enggak sadar kalo kamu terlalu baik. Kamu juga nggak sadar bahwa sikap *terlalu baik* kamu itu bisa mendatangkan hal-hal buruk untukmu sendiri).
Kata beliau, (Menjadi orang baik emang sih enggak ada salahnya. Bahkan kamu memang harus berbuat baik kepada orang lain. Tapi ada kalanya kamu terlalu baik kepada orang lain, sampai bahkan kamu sendiri enggak sadar kalo kamu terlalu baik. Kamu juga nggak sadar bahwa sikap *terlalu baik* kamu itu bisa mendatangkan hal-hal buruk untukmu sendiri).
Saat gue melakukan banyak hal untuk seseorang, dia akan berekspektasi bahwa gue akan melakukan segalanya untuk dia. Kadang sebagai teman, gue pasti ingin menjadi orang yang selalu ada saat dia/mereka membutuhkan bantuan gue. Apa salahnya sebuah bantuan kan, fikir gue??? Waktu gue tau kalo itu bisa meringankan beban atau mengatasi masalah mereka??? Apa yang harus gue perbuat??? Ya emang nggak ada yang salah juga gue selalu ada untuk mereka, untuk dia.
Selama masih masuk akal. Akan tetapi kalau mereka minta bantuan berulang-ulang untuk hal yang sama, gue juga harus pertanyakan. Itu kata beliau loh, ketika gue mau melakukan banyak hal untuk seseorang, bisa jadi orang itu akan berekspektasi bahwa gue mau melakukan segalanya buat dia. Jangan berharap dia akan berhenti minta bantuan. Selanjutnya, dia justru akan merasa ‘enak aja’ minta bantuan terus menerus bahkan meski dia tahu itu memberatkan walau enggak seberat badan gue sih hahaha
Salahnya gue, gue selalu berpikir mereka akan lebih menghargai gue dengan terus-terusan bersikap baik.. Ternyata gue salah. Salah besar. Mungkin dulu awalnya gue selalu berpikir bahwa dengan berbuat baik terus-terusan akan membuat gue juga disukai banyak orang. Sehingga orang lain akan lebih menghargai gue juga. Gue ngerasa lebih bisa diterima dengan berbuat baik sebanyak-banyaknya. Tapi ini nggak selamanya berhasil, loh. Bisa-bisa gue malah digampangkan wtf. Dan ini yang ngebuat gue jadi sadar kalau pertama-tama gue harus menghargai diri gue sendiri dulu, baru orang lain akan menghargai gue juga.
Setau gue hampir semua orang didunia bilang berbuat baiklah tanpa pamrih. Emang sih, selain gue ngerasa memang seharusnya gue ngelakuin itu, dalam hati kecil mungkin gue juga berharap agar dia/mereka juga akan melakukan hal yang sama kepada gue. Mengharap mereka akan baik juga sama gue. Berharap boleh aja kan? Tapi nggak semua harapan yang gue harapkan bisa terwujudkan kan??? Belum tentu mereka-mereka yang menerima sikap baik gue akan melakukan hal yang sama saat gue butuh bantuan pertolongan. Sebenernya ini sih yang gue rasain sampai saat ini, ketika gue mengharapkan orang saat gue bener-bener jatuh, fikiran ke mana-mana, gue butuh temen, ehh malah dia yang gue harapkan gak pernah muncul minimal sekedar bertanya apakah gue baik-baik aja???
Saat gue dibutuhkan mereka, gue berfikir kalo gue akan mejadi pelarian semua orang saat membutuhkan sesuatu. Dan bukan enggak mungkin akan ditinggalkan saat kebutuhannya udah terpenuhi. Akibat sikap gue yang ‘iya-iya aja’ dan enggak tegaan ini membuat orang lain menjadikan gue orang pertama yang didatangi ketika butuh bantuan. Membantu orang lain, bagaimanapun, memang memberikan gue kebahagiaan khusus. Tapi apakah gue pernah berpikir bahwa mereka hanya datang padamu saat kamu butuh bantuan? Sama sekali enggak, gue gak pernah berfikir begitu karena gue bener-bener tulus dan ikhlas ingin membantu mereka, menenangkan mereka. Tapi beberapa waktu yang lalu saat gue terpuruk gue berfikir, merka cuma ada kalau lagi butuh bantuan aja. Kalo lagi enggak butuh bantuan, jangankan mengajak gue nongkrong jajan makan bareng, mengontak gue buat bertanya kabar aja nggak pernah. Biasanya orang-orang yang kayak gini, akan pergi seiring masalahnya selesai. Hilang aja gitu. Nanti muncul-muncul membawa segudang persoalan yang harus gue bantu selesaikan.
Sifat terlalu baik gue bisa mengundang orang untuk berniat jahat. Bagi mereka mungkin gue orang yang mudah dimanfaatkan. Ada kalanya juga kebaikan gue ini justru dicurigai oleh orang lain. Berbeda dengan gue yang selalu positive thinking kepada semua orang, mereka justru merasa aneh mungkin yaa jika ada orang yang bersikap terlalu baik padanya. Bersikap baik, itu harus. Bersikap terlalu baik, itu mencurigakan wkwkwk
Karena sikap gue yang cenderung "nerimo" apa adanya dan menghindari perdebatan, orang-orang akan menilai gue sebagai orang yang lemah. Gue juga akan dianggap sebagai orang yang nggak punya pendapat padahal pendapat gue banyak banget, cuma cari aman aja males berdebat soalnya kan. Saat mengambil keputusan untuk kepentingan kelompok, mereka enggak lagi memperhatikan kepentingan gue, toh gue juga asyik-asyik aja mengikuti kepentingan orang lain. Mungkin mereka sempat merasa kalo gue mungkin dirugikan dari keputusan ini, dan gue akan sakit hati bahkan marah. Tapi dengan cepat mereka akan berpikir:
“Ah tenang aja, gustiiii ini kan orangnya baik banget. Tinggal minta maaf deh nanti, pasti dimaafin."
“Ah tenang aja, gustiiii ini kan orangnya baik banget. Tinggal minta maaf deh nanti, pasti dimaafin."
Gue sadar memaafkan orang memang menguntungkan. Baik bagi gue, maupun bagi orang tersebut. Tapi kalo orang berbuat sesuatu yang menyakiti gue lalu gue cuma berkata “Ah, enggak apa-apa kok santai aja. Nggak usah dipikirin.”, itu membuat mereka berpikir bahwa itu bukan kesalahan dan mengulanginya lain waktu nggak akan masalah.
Gue yang terlalu sibuk bersikap baik pada orang lain, dan lupa untuk baik pada diri gue sendiri loh. Kalo gue terus-terusan sibuk memikirkan orang lain, sibuk mendahulukan kepentingan orang lain, kapan gue akan berbuat baik untuk diri gue sendiri??? Gue sibuk berusaha membuat semua orang di dunia bahagia, tapi gue sendiri, apa bahagia???? Padahal seharusnya, untuk ngebuat orang lain bahagia, gue dulu harus bahagia. Inget gussss, lo juga manusia. Gue juga punya hak untuk bahagia.
Jujur aja gue jadi nggak bisa menilai orang-orang di sekeliling gue sendiri, siapa yang layak dan siapa yang nggak layak???!
Gue mungkin enggak tau kalo diantara mereka memang ada orang-orang yang patut gue beri kebaikan dan perhatian gue. Mereka adalah orang-orang yang akan memberikan hal serupa saat gue membutuhkan bantuan mereka dan nggak akan segera meninggalkan gue saat kepentingannya udah selesai. Tapi ada juga orang-orang yang hanya menemui gue saat butuh doang, atau orang-orang yang justru memanfaatkan kebaikan gue, Orang-orang yang seperti inilah yang enggak layak gue beri kebaikan. Tapi karena gue percaya semua orang itu baik, gue jadi susah buat menilai mereka.
Dan saat akhirnya gue bisa bilang ‘enggak’, orang akan selalu menganggap gue lagi bercanda padahal enggak. Mungkin orang juga nggak akan percaya kalau gue bilang perbuatan mereka sebenernya membuat gue terluka.
Kata bagian jiwa gue yang jahat, sebagai orang yang terlalu baik, gue ini juga punya kekhawatiran yang tinggi terhadap pendapat orang tentang gue sendiri. Dibenci orang lain jelas hal yang enggak banget buat gue. Rasa takut untuk ditolak ini membuat gue selalu berusaha menjadi orang yang menyenangkan bagi orang lain, meskipun itu sebenarnya menyiksa gue banget. Kalo ini sampe diterusin, gue akan mulai menghidupi "kehidupan orang lain". Dan kalo ini masih diteruskan lagi, lama-kelamaan gue akan merasa lelah, tertekan, hingga depresi. Inilah yang membuat anxiety gue tinggi kayanya.
Gue pernah denger, ada pepatah yang mengatakan kalo orang yang terlalu baik dan paling ceria, barangkali justru orang yang paling banyak terluka. Saat gue sibuk berusaha membahagiakan semua orang di dunia, saat itu gue mengikis kepentingan gue sendiri dan meminggirkan sakit hati gue sendiri demi orang lain. Ada kalanya gue kecewa, tapi gue merasa enggak ada gunanya juga mengutarakan kekecewaan itu. Padahal gue juga berhak untuk menunjukkan kekecewaan gue kan???
Bukannya gue harus berhenti menjadi orang baik. Tapi mulai hari ini, gue coba untuk lebih banyak berbuat baik untuk diri gue sendiri. Seenggaknya, sebelum gue menghargai orang lain, gue hargai dulu diri sendiri. Nggak ada salahnya kan gue berkata ‘enggak’ saat gue sendiri benar-benar enggak mau atau nggak bisa. Karena segala sesuatu memang ada porsinya.
Aku bukan orang baik, aku orang jahat yang jahatnya masih ditutupi dengan semua kebaikan-kebaikan yang tulus. Aku masih terus memperbaikinya, aku masih terus memperbaiki diri. Agar aku pantas dipertemukan pula dengan orang baik :)
Komentar
Posting Komentar