Gue ini enggak pernah tau, hidup atau udah mati. Jiwa gue bagai berkaca dihamparan cermin yang kusam, lusuh dan enggak jelas. Sukma gue terenyuh, melihat raga gue tertidur enggak berdaya. Gue belum mati!!! Terus sekarang gue ini apa??? Jiwa yang melayang – layang enggak tau harus pergi kemana. Gue kejebak didalam waktu, gue enggak bisa kembali. Karena gue enggak tau jalan pulang itu.
Cinta itu apa???? Gue enggak pernah ngerasain cinta itu ada dalam kehidupan gue.
Cinta itu enggak ada di didunia, gue susah mencari cinta yang kaya mereka ceritakan. Bayangan masa lalu mengganggu pikiran gue malam ini dan malam-malam yang lalu.
Tragedi itu, membuat gue harus berakhir. Bukan, belum berakhir!!! Tapi itu menghantam tubuh gue, kuat banget .
Raga gue keluar terhempas, jiwa gue tiba-tiba bergetar dan darah ada dimana-mana. Hidung dan mulut gue terasa terus mengeluarkan darah, percaya deh ini beneran sakit. Ini membuat gue enggak berdaya. Gue cuma sendiri disini, menunggu jiwa malaikat menolong gue. Semua itu membuat gue terbaring kritis di atas ranjang ruang ICU rumah sakit.
“Kamu udah mati????” tanya wanita bermata indah itu kepada gue. Gue terus menatapnya, “ enggak tau deh." Hidup dan mati adalah hal yang sulit untuk gue bedain saat ini. Gue juga enggak tau kenapa, yang jelas gue beneran udah enggak berdaya di buat semua ini. Wajah wanita ini seakan enggak asing buat gue, seperti seorang gadis yang pernah aku lukis beberapa waktu lalu namun dalam versi yang lebih dewasa, mungkin seusia gue saat ini.
“Nama aku risya... Aku dan kamu berbeda, cahaya itu membawa aku kemari,” ucap perempuan itu. Dia begitu cantik, senyumnya sangat indah. Matanya berbinar penuh keindahan, gue bener-bener enggak pernah melihat wanita secantik itu, sebelumnya.
“Cahaya????” gue ngeliat ke arah yang ditunjuk oleh perempuan ini, “kenapaa?” perempuan ini tetep enggak ngejawab, dia cuma terenyum, merapikan rambutnya yang tergerai diterpa angin.
“Nanti kamu juga bakalan ngerasain kok. Aku enggak bisa ngomong lebih dari ini.” Sepertinya perempuan ini menjaga sebuah rahasia besar yang sengaja ia tutupi di balik mata indahnya.
“Gue mau pulang!!!” ucap gue penuh harapan.
“kamu tau jalan pulang itu???” perempuan ini berbisik di telinga gue. Suaranya begitu merdu dan sendu. Jantung gue berdegub kenceng banget mendengar bisikannya, pikiran gue juga kacau, gue bingung dengan pertanyaannya. Gue terus menggelengkan kepala.
“kamu tau jalan pulang itu???” perempuan ini berbisik di telinga gue. Suaranya begitu merdu dan sendu. Jantung gue berdegub kenceng banget mendengar bisikannya, pikiran gue juga kacau, gue bingung dengan pertanyaannya. Gue terus menggelengkan kepala.
“gue takut!”
“Kenali dirimu, pikirkan apa yang harus kamu pikirkan deh. Jalan pulang itu pasti ada kok. ” risya memberi pencerahan, dan gue diam aja enggak menjawab sama sekali.
Risya bangkit dari duduknya, gue ngeliat dia. Dia menari–nari mistis dan bernyanyi enggak jelas. Gue enggak tau apa yang dia ucapkan. Gue coba untuk berlari mengejarnya, gue gak mau sendirian. Gue terus berlari mengejarnya, tapi enggak kekejar sama gue.
Dia tiba-tiba kok menghilang! Langkah gue berhenti di satu titik pertigaan jalan. Gue bingung, gue enggak tau harus milih jalan yang mana. Dikuping gue kedengeran suara gaduh yang sangat rame, kedengaran nyaring banget memekakkam gendang telinga. Suara itu bener-bener sangat mmengganggu gue.
“Gue enggak tau jalan mana yang akan gue pilih,” ucap gue tersedu. Gue menatap ketiga jalan itu, jalan yang menurut gue penuh dengan kedustaan.
Gue coba ngeliat jalan pertama, Jalan yang penuh duri dan krikil tajam, siap menghiasi luka di telapak kaki.
Gue coba liat jalan yang kedua!!! Sama aja, ternyata jalan yang penuh dengan wajah beribu-ribu manusia terbalut dalam topeng kehidupan. Mereka menari-nari dan tersenyum pahit menatap ke arah gue. Mereka menunggu langkah gue, terjerat dalam kemunafikan.
Masih ada satu jalan lagi, jalan ketiga. Ternyata sebuah jalan yang sangat mengerikan, penuh lumpur hidup yang siap menjerat dan memperangkap gue dalam ketidakberdayaan.
“Terus, dimana jalan pulang itu????” gue masih bertanya pada hati gue, lubuk hati yang paling dalam. Kecemasan mulai mengahantui, ini bukan pilihan. Tetapi ini cobaan.
Gue enggak mau ketiga jalan itu, gue enggak bisa ngelawan. Karena semua itu membuat gue bener-bener takut. Takut enggak akan pernah pulang. Gue berlari lagi, pergi meninggalkan pertigaan itu, kembali kejalan pertama yang gue lalui tadi.
Enggak kerasa..
Gue menangis…
Gue lelah kalo terus berlari..
Gue enggak sanggup lagi, gue juga terjatuh dan berdiri dengan kedua lutut kakiku..
Gue menangis…
Gue lelah kalo terus berlari..
Gue enggak sanggup lagi, gue juga terjatuh dan berdiri dengan kedua lutut kakiku..
“Gue mau pulang!!! Cuma mau pulang, gue pengin tau siapa diri gue” sambil menangis karena engga dapet melihat dunia lagi. Yang gue liat cuma kehampaan, mengepung diri gue. Gue bersimpuh lemas dan takut....
“Gustiiii!” seseorang memanggil nama gue. Gue mengangkat kepala sambil menengok kiri kanan depan belakang. Sambil mencari berputar-putar mencari suara yang memanggil nama gue tadi. Gue lalu bangkit dari ketidakberdayaan dan kembali berlari.
Sebuah titik cahaya begitu menyilaukan kedua mata, gue enggak dapat melihatnya.
Dia terlalu terang. Gue menepisnya dengan kedua tangan sambil menundukan wajah. Perlahan gue ngerasain cahaya itu meredup dan menjadi gelap. Gue kembali membuka mata, mengangkat kepala dan melihat seseorang, dia adalah Rasya. Perempuan cantik itu.
“Mengapa semuanya menjadi gelap??? Dimana sih cahaya itu?” enggak ada jawaban, dia hanya tersenyum..
“Dia kembali kepada yang menciptakanya. Kita semua akan kembali kepada Nya.” ucap wanita itu memainkan pikiranku yang sedang kacau.
“Tolong. Gue lelah dengan semua ini. Gue mau pulang!!!” gue memohon kepada Risya "terus mengiba kepadanya.
“Tolong. Gue lelah dengan semua ini. Gue mau pulang!!!” gue memohon kepada Risya "terus mengiba kepadanya.
“Bukankah kamu udah menemukan jalan pulang itu, ketiga jalan itulah jalan pulangmu!!!
“Jalan itu menakutkan, gue enggak berani melewatinya. Apa ada jalan yang lain???”
Lihatlah cahaya indah itu,” Risya menunjuk ke arah kilauan pelangi yang menawan. “ kamu mau jalan itu???” Risya menawarkan pilihan lain kepada gue...
“ Iya. Aku mau…. Mauu banget...” gue mengangguk.
“Tapi enggak sekarang, gustiii. Tanya hatimu dan mohon ampunlah kepada Tuhanmu. Niscaya, jalan pulang itu akan terbuka.” Risya berkata tegas sekali.
“ Gue takut, gue enggak mau berlama-lama di tempat ini.”
“ Kenapa???”
“ Gue takut dengan semua ini, gue takut hanya berdiri mati disini, tanpa pernah tahu arah jalan pulang. Gue takut itu.” gue mencurahkan ketakutan gue pada dia. Dia tersenyum, gue heran melihatnya. Apakah dia enggak mengerti perasaanku????“ sebenarnya gue dimana???Apakah gue kesesat dalam permainan waktu yang membelengu hidup???”
“Aku enggak bisa berkata lebih dari ini. Bukankah dari pertama aku udah menjelaskanya padam gusti???”
“Tapi gue butuh kejelasan!” gue mengemis kepadanya.
“Sekarang tentukan sikapmu. Pililah jalan-jalan yang udah ditentukan,” Risya berbisik di telinga gue. Ia kembali menari mistis dan bernyanyi enggak jelas. Ia semakin jauh dari diriku dan menghilang.
Ragaku masih enggak berdaya di atas ranjang. Gue sendiri di tempat ini, enggak ada yang pernah melihat diriku. Bahkan lantunan doa itu enggak pernah terdengar di telingaku. Sepertinya enggak ada lagi orang-orang yang menyayangi gue.
Ibu gue saat ini sedang tertidur pulas, ayahku selalu diam jika ada masalah. Gue membenci semua ini, gue menangis untuk diriku sendiri. Karena gue enggak sanggup dan sungguh enggak berdaya.
Apakah aku harus mati!!!!!!?!
Gue berpikir, sampai larut setiap harinya dalam kegelisahan dan tangisan. Mencoba mengartikan setiap hal yang terjadi pada diri ini. Aku rasa semua ini ada jawabanya. Gue berpikir keras.
Jalan pertama menandakan perjuangan hidup yang harus dilalui dengan hati tenang. Penderitaan yang enggak pernah ada ujungnya.
Jalan kedua menandakan bahwa gue udah terlalu lama hidup di antara orang-orang, manusia-manusia munafik yang begitu kejam.
Sedangkan jalan ketiga menandakan penderitaan yang enggak pernah berubah.
Lalu jalan yang di tawarkan oleh Risya itu penuh dengan ketenangan yang enggak pernah aku rasakan selama hidup ini.
Hidup, Apakah gue udah mati???
Seseorang berbisik, dan kini gue tau jalan pulang itu. Gue harus pulang sekarang!!! Bibir gue tersenyum bahagia. Menemukan jawaban dari pertanyaan gue sendiri. Gue berlari, berjalan menapaki kaki gue ke arah cahaya yang tenang itu. Risya menunggu gue disana, ia tersenyum menanti kedatangan gue. Gue terus berlari.
Suara-suara pengganggu itu kembali terdengar
“Gustiiii.”
“Kembalilah anakku.”
Kalimat-kalimat itu buat hati gue bergetar. Jantung gue berhenti dan rasa ngilu menyerang di seluruh tubuhku.
Gue kritis.
Itu yang dikatakan dokter kepada kedua orang tua gue. Udah beberapa minggu gue terbaring di rumah sakit ini. Orang tua gue baru aja datang, sepertinya mereka baru sadar bahwa sikap mereka selama ini salah. Tapi, bukankah semua itu udah terlambat, gue udah tau jalan pulang itu...Kenapa sekarang ada dua jalan pulang????
Suara tangisan ibu dan bapak membuat gue kalut. Gue enggak bisa berpikir lagi, karena ini pilihan yang sulit. Gue maukembali pulang!!! Gue nangis dan menundukkan kepala.
Tuhan, tolonglah aku!!!
“Gustiii kamu sudah tau jalan pulang itu. Sekarang, Aku dan kamu sama, satu ketenangan menunggu di jiwa kita.” Risya mendekati gue.
“Tetapi mereka… mereka menunggu gue.”
“Ketenangan itu jauh lebih besar menunggu kedatangan kita.” Risya meyakinkan gue.
“Maafkan aku bu, maafkan aku pak.”
“Ketenangan itu jauh lebih besar menunggu kedatangan kita.” Risya meyakinkan gue.
“Maafkan aku bu, maafkan aku pak.”
Gue lalu berlari bersama Risya, dia terus menari mistis dan bergumam enggak jelas. Suaranya menggema, mengecil, lalu hilang. Gue enggak lagi mendengar tangisan ibu dan bapak, karena kini gue udah menemukan jalan pulang itu, jalan yang guepilih dengan hati gue sendiri.
Tubuh gue pucat dan enggak berdarah lagi. Gue udah pergi jauh untuk selamanya. Ibu menangis dan bapak menutupi tubuh gue dengan selimut tebal. Gue tersenyum melihat mereka.
Hujan mulai turun, semilir angin menerpa dalam kelembutan. Jiwa yang tenang telah pergi untuk selamanya. Jalan cinta itu sudah gue temukan disini, dan di tempat ini gue menemukan cinta yang sebenarnya.
Gue udah Pulang!!!!
Apakah ada diantara kalian yang menagisi gue? Atau merindukan gue nanti??
Komentar
Posting Komentar