Ada denyut sesak saat mendengar
kabarmu sekarang, bahwa kau telah menemukan seseorang, dan bersamanya
kalian saling mengikat sayang. Kau datang menanyakan kabar, seakan aku
baik-baik saja setelah kehilangan. Aku terdiam, seperti yang selalu kau
lakukan dulu saat aku mengungkapkan rasa padamu. Bahwa sesungguhnya aku
tidak terima atas segala bahagiamu, karena aku selalu yakin aku yang
paling bisa membahagiakanmu.
Namun terlambat, padanya cintamu telah tertambat.
Kau tak pernah memberikan kesempatan,
menjadikanku teman cerita sudah cukup membuatmu nyaman. Sedetik saja
sungguh ingin aku tetap memilikimu, walau tak selamanya, paling tidak
bisa mewarnai setiap cerita. Karena kini tentangmu hanyalah perih, dan
penyesalan yang terucap lirih. Isi kepalaku masih saja tentangmu, namun
ketiadaanku di hatimu membuatnya pilu. Satu hal yang masih membuatku
tersenyum adalah anugerah kehormatan yang kau berikan atas hancurnya
segala perasaan.
Namun tersenyum, hanyalah kamuflase kesedihan dari sakit yang begitu ranum.
Ditemani kepulan penyesalan yang aku
bakar dengan api kecemburuan, juga gerimis yang beberapa hari ini tak
pernah absen menyempurnakan rasa miris, aku merayakan kepergianmu dengan
air mata yang merintik bersamaan. Di tempat berbeda kita pun bercerita,
kau dan dia berpelukan dalam ikatan kasih sayang, aku disini berpelukan
dengan kesedihan. Membanting waktu ribuan kali, tak kembali. Cintamu
resmi dia miliki, dengan segala ucapan selamat yang mengiringi kalian
dalam ikatan ini.
Namun terserah, mimpiku tentangmu telah berubah.
Aku adalah secangkir teh yang kau
lewatkan di lain meja, yang tak teraduk, menjadi dingin dalam hambar
yang sempurna. Telah sering kau lupa, sering pula kau jadikan bahan
bercanda, yang akhirnya kau hubungi saat tangismu mendera. Untukmu, aku
lakukan semua, sebelum akhirnya menghilang ditelan diam. Mulutmu hanya
berbicara tentang lain pertemuan, padahal di depanmu aku melebarkan
telinga menunggu jawaban. Terkumpul kekecewaan, kau semakin tak wajar
membicarakan orang lain di depan hati yang jelas-jelas mendamba
kepastian.
Tak perlu kau pikirkan perasaan orang lain, terlihat jelas bahagiamu terlalu egois untuk dibagi. Aku pun tak terima jika nantinya aku hidup dengan seorang pematah janji; maka bersenang-senanglah dengan dia yang kau pilih untuk menemanimu saat ini, hingga suatu hari nanti mendengar namaku akan membuatmu terbunuh tepat di dada. Penyesalan akan menggerogoti perasaanmu, ucapan maaf akan kau teriakkan dalam setiap doa, dan tangisan akan menyelimuti setiap malammu penuh nelangsa.
Tak perlu kau pikirkan perasaan orang lain, terlihat jelas bahagiamu terlalu egois untuk dibagi. Aku pun tak terima jika nantinya aku hidup dengan seorang pematah janji; maka bersenang-senanglah dengan dia yang kau pilih untuk menemanimu saat ini, hingga suatu hari nanti mendengar namaku akan membuatmu terbunuh tepat di dada. Penyesalan akan menggerogoti perasaanmu, ucapan maaf akan kau teriakkan dalam setiap doa, dan tangisan akan menyelimuti setiap malammu penuh nelangsa.
Namun sia-sia, di hari itu rasaku padamu telah tiada.
Sebab aku memutuskan untuk pergi, karena
ternyata hatiku terlalu mulia untuk kau tinggali. Dan bila nantinya
hatimu diselimuti kerinduan, menangislah karena kau telah kulupakan.
Komentar
Posting Komentar