Langsung ke konten utama
Perkembangan Politik di Dunia dan di Indonesia Dari Masa Sesudah Kemerdekaan Sampai Reformasi
Suatu sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu objek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.

Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.

Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.

Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.

Corak pertama terdapat pada golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk memaksakan subyektifisme mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini biasanya melahirkan sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua cirak ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang otoriter/totaliter.

Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks Pancasila.

Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.

Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam
kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.

Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:
• Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
• Rasio, faktor yang berasal dari otaknya

Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.

Sumber: http://books.google.co.id/books?id=OfSJQlKM1yAC&pg=PR7&lpg=PR7&dq=Perkembangan+Politik+di+Dunia+dan+di+Indonesia+Dari+Masa+Sesudah+Kemerdekaan+Sampai+Reformasi&source=bl&ots=Z2bY40Yrfw




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS JURNAL TENTANG KINERJA KERJA KARYAWAN

TEMA: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KARYAWAN DIDALAM PERUSAHAAN. Kata kunci : iklim organisasi, kedewasaan, kinerja, kepemimpinan, stress, budaya kerja. ANALISIS JURNAL TENTANG KINERJA KERJA KARYAWAN Jurnal 1 ( PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA DAN STRES KARYAWAN (Studi Kasus : CV. Mertanadi)) : Anak Agung Wiranata 2, Juli 2011 Kepemimpinan dalam perusahaan merupakan hal penting dalam sebuah era organisasi modern yang menghendaki adanya demokratisasi dalam pelaksanaan kerja dan kepemimpinan perusahaan. Akibat yang mungkin timbul dari adanya gaya kepemimpinan yang buruk adalah penurunan kinerja karyawan yang akan membawa dampak kepada penurunan kinerja total perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja dan stres karyawan.. Hipotesa kerja yaitu H0 = 0, kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap kinerja dan stress karyawan. Ha ≠ 0, kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja dan stress karyawan. Hasil pen

jurnal perilaku konsumen (english)

European Journal of Business and Management www.iiste.org ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol 3, No.3 Effective advertising and its influence on consumer buying behavior Zain-Ul-Abideen (Corresponding Author) Department of Management Sciences, Abbasia Campus, The Islamia University of Bahawalpur, Punjab, Pakistan. E-mail: zuabideen@gmail.com Salman Saleem Department of Business Administration, Federal Urdu University of Arts, Science & Technology, Islamabad, Pakistan. E-mail: salmankhan302@gmail.com Abstract Advertising is a form of communication intended to convince an audience (viewers, readers or listeners) to purchase or take some action upon products, information, or services etc. This paper investigates the relationship between independent variables which are environmental response and emotional response with attitudinal and behavioral aspect of consumer buying behavior, by tapping the respons

example adjective clause

Combine each of the following pairs of simple sentences into one complex sentence containing an adjective clause. 1. The theft was committed last night. The police has caught the man. 2. The French language is different from the Latin language. Latin was once spoken throughout Europe. 3. You are looking upset. Can you tell me the reason? 4. He had several plans for making money quickly. All of them have failed. 5. The landlord was proud of his strength. He despised the weakness of his tenants. 6. This is the village. I was born here. 7. You put the keys somewhere. Show me the place. 8. Paul was an old gentleman. He was my travelling companion. 9. A fox once met a crane. The fox had never seen a crane before. 10. The shop keeper keeps his money in a wooden case. This is the wooden case. Answers 1. The police has caught the man who committed the theft last night. 2. The French language is different from the Latin language which was once spoken throughout Europe. 3. Can you